Senin, 29 April 2013



SALAT TATAWWU’ EMPAT RAKAAT SESUDAH SALAT JUM’AT DAN
SALAT MALAM EMPAT RAKAAT DI BULAN RAMADAN APAKAH
MEMAKAI TAHIYAT AWAL ATAU TIDAK?

SALAT DAN PUASA YANG PAHALANYA UNTUK ORANG YANG TELAH
MENINGGAL DUNIA
Pertanyaan Dari:
Zainal Choiri, No. KTAM 11293387586583,
Jl. Gunungkunci, Kartasura, Jawa
Tengah 57167
Tanya:
1. Pada HPT cet. 3, halaman 320 dan 351 perihal salat tatawwu’ empat rakaat
sesudah salat Jum’at, mohon dijelaskan apakah memakai tahiyat awal atau tidak?
Demikian juga apakah sekali salam atau dua kali salam?
2. Pada SM No. 4/77/1992 dikemukakan bahwa salat malam di bulan Ramadan
dapat dilakukan empatempat
rakaat. Mohon dijelaskan apakah memakai tahiyat
awal atau tidak?
3. Dalam Fiqhus Sunnah cet. 3 jilid 4 tahun 1991 halaman 189191
terdapat uraian
tentang salat, puasa yang pahalanya untuk orang yang telah meninggal dunia.
Bagaimana Muhammadiyah menanggapinya?
Jawab:
Melihat tanggal yang tertera pada surat saudara, tampaknya pertanyaan ini
sudah cukup lama menginap, mohon maaf apabila baru kali ini bisa dimuat.
Saudara Zainal Choiri, memang sehabis salat Jum’at Nabi saw biasa
mengerjakan salat sunat sebanyak empat rakaat atau dua rakaat. Bahwa salat sunat
itu empat rakaat, adalah seperti dalam hadis riwayat Jamaah dari Abu Hurairah yang
artinya: “Bahwasanya Nabi saw bersabda: apabila salah seorang dari kamu telah
selesai mengerjakan salat Jum’at maka hendaklah salat sunnat empat rakaat
sesudahnya”. Demikian juga dalam hadis riwayat Muslim, Abu Dawud dan atTirmizi
disebutkan bahwa salat sunnat ba’da Jum’at itu empat rakaat. Sedangkan
dalam hadis riwayat Jama’ah dari Ibnu Umar, disebutkan bahwa Nabi saw sesudah
salat Jum’at melakukan salat sunnat dua rakaat di rumahnya.
Dari beberapa riwayat ini dapat diketahui bahwa apabila Nabi saw salat sunnat
ba’da Jum’at dilakukan di masjid, beliau mengerjakannya empat rakaat, sedangkan
apabila dilakukan di rumah dikerjakan dua rakaat. Apakah yang empat rakaat itu
memakai tahiyat awal atau tidak, juga sekali salam atau dua kali salam, kami belum
memperoleh dalil yang menjelaskannya lebih lanjut. Hanya saja dari beberapa salat
sunnat yang lain, kalau tidak disebutkan secara tegas bahwa empat rakaat itu dengan
sekali salam seperti dalam salat tarawih, maka salat sunnat itu dilakukan dua rakaatdua
rakaat, atau empat rakaat dengan dua kali salam (selanjutnya silahkan baca Buku
Tanya Jawab Agama, Jilid 4 halaman 121123,

terbitan PP Muhammadiyah Majlis
Tarjih).
Untuk pertanyaan Saudara yang kedua, bahwa Salat Lail pada bulan Ramadan
selain dilakukan dengan cara duadua
rakaat, juga dapat dilakukan dengan empatempat
rakaat. Apabila dilakukan secara empatempat
rakaat, tidak memakai tahiyyat
awal, melainkan empat rakaat tersebut dikerjakan secara langsung dan tahiyyatnya
dilakukan setelah rakaat yang keempat lalu salam. Setelah itu berdiri lagi untuk
mengerjakan empat rakaat berikutnya, lalu salam lagi. Selesai mengerjakan delapan
rakaat lalu ditambah dengan mengerjakan tiga rakaat lagi. Mengenai shalat lail ini
dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih (HPT) halaman 341 disebutkan:
“Hendaklah engkau membiasakan shalat malam sesudah shalat Isya hingga
menjelang terbit fajar, di dalam maupun di luar bulan Ramadan. Engkau kerjakan 11
rakaat, dua rakaatdua
rakaat atau empat rakaatempat
rakaat, dengan membaca
Fatihah dan surat dari alQur’an
pada tiaptiap
rakaat. Kemudian engkau akhiri tiga
rakaat, dengan membaca surat alA’la
sesudah Fatihah pada rakaat pertama, surat alKafirun
pada raka’at kedua dan surat alIkhlas
pada rakaat ketiga …”.
Adapun yang dijadikan dasar hukumnya ialah seperti yang Saudara lampirkan
dalam surat kepada kami (kutipan dari SM No. 4/77/1992) atau seperti yang dimuat
di halaman 347 HPT, yaitu hadis riwayat alBukhari,
Muslim dari Aisyah sebagai
berikut:
عَنْ عَائِشَةَ حِينَ سُئِلَتْ عَنْ صَلاَةِ ر س ولِ اللهِ ص لَّى اللهُ ع لَي هِ و س لَّمَ قَال تْ م ا
كَانَ ر س ولُ اللهِ ص لَّى اللهُ ع لَ يْهِ و س لَّمَ يَزِي دُ ف ي رَمَض انَ وَل ا ف ي غَي رِهِ عَل ى
إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَل ا تَس أَلْ ع نْ حُس نِهِنَّ و ط ولِهِنَّ ث مَّ يُص لِّي
أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا [ رواه البخاري ومسلم ]
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ketika ia ditanya tentang shalat Nabi
di bulan Ramadan, Aisyah berkata: Pada bulan Ramadan maupun lainnya Nabi
tidak pernah melakukan shalat lebih dari sebelas rakaat, Nabi kerjakan empat
rakaat, jangan engkau tanyakan elok dan lamanya, kemudian Nabi kerjakan lagi
empat rakaat dan jangan engkau tanyakan elok dan lamanya, lalu Nabi kerjakan
lagi tiga rakaat.”
Dalam hadis di atas disebutkan bahwa Nabi mengerjakan shalat lail itu empat
rakaat, empat rakaat dan terakhir tiga rakaat. Karena disebutkan empat rakaatempat
rakaat, dengan tidak disebutkan memakai tahiyyat awal, maka shalat lail yang empat
rakaatempat
rakaat tersebut dikerjakan dengan tidak melakukan tahiyyat awal.
Demikian halnya shalat witir yang tiga rakaat juga tidak memakai tahiyyat awal.
Pertanyaan Saudara yang nomor tiga, banyak sekali pertanyaanpertanyaan
seperti pertanyaan Saudara ini dan persoalan ini merupakan persoalan klasik. Oleh
Tim Fatwa Majlis Tarjih sudah diberikan jawabannya. Untuk itu bisa Saudara baca
dalam buku Tanya Jawab Agama jilid II oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih
dengan penerbit Suara Muhammadiyah, halaman 197 dan seterusnya. Memang di
kalangan ulama sendiri terdapat perbedaan mengenai hal ini. Ada yang berpendapat
bahwa menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah mati, pahala itu akan sampai
kepadanya dan kebanyakan ulama berpendapat bahwa hadiah pahala itu tidak akan
sampai.
Dari beberapa jawaban yang dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama tersebut
dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Tim Fatwa Majlis Tarjih rnenghadiahkan
pahala kepada orang yang sudah meninggal dunia tidak ada dasar hukumnya.
Seseorang manusia berdosa adalah karena ulah perbuaran sendiri, bukan karena
menanggung dosa orang lain, kecuali kalau memang dia ikut andil dalam perbuatan
dosa orang lain tersebut. Demikian sebaliknya bahwa seseorang manusia mendapat
pahala dari hasil perbuatannya sendiri dan ia akan menerima pahala dari perbuatan
baik orang lain kalau ia mempunyai andil dalam terwujudnya perbuatan baik orang
lain tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah surat anNajm
Artinya: “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain. Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya.”
Sejalan dengan ayat di atas ialah apa yang dikemukakan dalam hadis Nabi saw
yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Dawud, atTurmuzi
dan yang lainnya,
bahwa Nabi saw bersabda yang artinya: “Barangsiapa mengajak kepada petunjuk
(kebaikan) maka ia akan mendapat pahala seperti pahalapahala
yang diberikan
kepada orangorang
yang mengikuti ajakannya, tanpa mengurangi sedikitpun
pahalapahala
mereka, dan orang yang mengajak kepada kesesatan maka ia akan
menerima dosa seperti dosa orangorang
yang mengikuti ajakannya tanpa
mengurangi sedikitpun dosadosa
mereka itu”.
Mengingat bahwa menghadiahkan pahala dari perbuatan yang kita lakukan
untuk orang yang sudah meninggal dunia itu tidak ada landasannya, maka sebaiknya
hal itu tidak dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar