Biografi Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
Posted by Ibnu Majjah
Nama Beliau
Nama seberanya adalah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad
bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i, kemudian ad-Dimasyqi.
Dikenal dengan ibnul Qayyim al-Jauziyyah nisbat kepada sebuah madrasah yang
dibentuk oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdil Rahman bin Ali al-Jauzi
yang wafat pada tahun 656 H, sebab ayah Ibnul Qayyim adalah tonggak bagi
madrasah itu.
Ibnul Qayyim dilahirkan di tengah keluarga berilmu dan
terhormat pada tanggal 7 Shaffar 691 H. Di kampung Zara’ dari perkampungan
Hauran, sebelah tenggara Dimasyq (Damaskus) sejauh 55 mil.
Pertumbuhan Dan Thalabul Ilminya
Ia belajar ilmu faraidl dari bapaknya karena beliau
sangat menonjol dalam ilmu itu. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath
al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab: (al-Mulakhkhas li Abil Balqa’ kemudian
kitab al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab
al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil). Di samping itu belajar dari
syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur.
Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu
Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad
al-Harraniy.
Beliau amat cakap dalam hal ilmu melampaui
teman-temannya, masyhur di segenap penjuru dunia dan amat dalam pengetahuannya
tentang madzhab-madzhab Salaf.
Pada akhirnya beliau benar-benar bermulazamah secara
total (berguru secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah sesudah kembalinya Ibnu
Taimiyah dari Mesir tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728 H.
Pada masa itu, Ibnul Qayyim sedang pada awal masa-masa
mudanya. Oleh karenanya beliau sempat betul-betul mereguk sumber mata ilmunya
yang luas. Beliau dengarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang penuh
kematangan dan tepat. Oleh karena itulah Ibnul Qayyim amat mencintainya,
sampai-sampai beliau mengambil kebanyakan ijtihad-ijtihadnya dan memberikan
pembelaan atasnya. Ibnul Qayyim yang menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan
cara menyusun karya-karyanya yang bagus dan dapat diterima.
Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak
berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor
onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara.
Sebagai hasil dari mulazamahnya (bergurunya secara
intensif) kepada Ibnu Taimiyah, beliau dapat mengambil banyak faedah besar,
diantaranya yang penting ialah berdakwah mengajak orang supaya kembali kepada
kitabullah Ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
shahihah, berpegang kepada keduanya, memahami keduanya sesuai dengan apa yang
telah difahami oleh as-Salafus ash-Shalih, membuang apa-apa yang berselisih
dengan keduanya, serta memperbaharui segala petunjuk ad-Din yang pernah
dipalajarinya secara benar dan membersihkannya dari segenap bid’ah yang
diada-adakan oleh kaum Ahlul Bid’ah berupa manhaj-manhaj kotor sebagai cetusan
dari hawa-hawa nafsu mereka yang sudah mulai berkembang sejak abad-abad
sebelumnya, yakni: Abad kemunduran, abad jumud dan taqlid buta.
Beliau peringatkan kaum muslimin dari adanya khurafat
kaum sufi, logika kaum filosof dan zuhud model orang-orang hindu ke dalam
fiqrah Islamiyah.
Ibnul Qayyim rahimahullah telah berjuang untuk mencari
ilmu serta bermulazamah bersama para Ulama supaya dapat memperoleh ilmu mereka
dan supaya bisa menguasai berbagai bidang ilmu Islam.
Penguasaannya terhadap Ilmu Tafsir tiada bandingnya,
pemahamannya terhadap Ushuluddin mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai
Hadits, makna hadits, pemahaman serta Istinbath-Istinbath rumitnya, sulit
ditemukan tandingannya.
Semuanya itu menunjukkan bahwa beliau rahimahullah amat
teguh berpegang pada prinsip, yakni bahwa “Baiknya” perkara kaum Muslimin tidak
akan pernah terwujud jika tidak kembali kepada madzhab as-Salafus ash-Shalih
yang telah mereguk ushuluddin dan syari’ah dari sumbernya yang jernih yaitu
Kitabullah al-‘Aziz serta sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
asy-syarifah.
Oleh karena itu beliau berpegang pada (prinsip) ijtihad
serta menjauhi taqlid. Beliau ambil istinbath hukum berdasarkan petunjuk
al-Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah syarifah, fatwa-fatwa shahih para shahabat
serta apa-apa yang telah disepakati oleh ahlu ats tsiqah (ulama terpercaya) dan
A’immatul Fiqhi (para imam fiqih).
Dengan kemerdekaan fikrah dan gaya bahasa yang logis,
beliau tetapkan bahwa setiap apa yang dibawa oleh Syari’ah Islam, pasti sejalan
dengan akal dan bertujuan bagi kebaikan serta kebahagiaan manusia di dunia
maupun di akhirat.
Beliau rahimahullah benar-benar menyibukkan diri dengan
ilmu dan telah benar-benar mahir dalam berbagai disiplin ilmu, namun demikian
beliau tetap terus banyak mencari ilmu, siang maupun malam dan terus banyak
berdo’a.
Sasarannya
Sesungguhnya Hadaf (sasaran) dari Ulama Faqih ini adalah
hadaf yang agung. Beliau telah susun semua buku-bukunya pada abad ke-tujuh
Hijriyah, suatu masa dimana kegiatan musuh-musuh Islam dan orang-orang dengki
begitu gencarnya. Kegiatan yang telah dimulai sejak abad ketiga Hijriyah ketika
jengkal demi jengkal dunia mulai dikuasai Isalam, ketika panji-panji Islam
telah berkibar di semua sudut bumi dan ketika berbagai bangsa telah banyak
masuk Islam; sebahagiannya karena iman, tetapi sebahagiannya lagi terdiri dari
orang-orang dengki yang menyimpan dendam kesumat dan bertujuan menghancurkan
(dari dalam pent.) dinul Hanif (agama lurus). Orang-orang semacam ini sengaja
melancarkan syubhat (pengkaburan)-nya terhadap hadits-hadits Nabawiyah Syarif
dan terhadap ayat-ayat al-Qur’anul Karim.
Mereka banyak membuat penafsiran, ta’wil-ta’wil, tahrif,
serta pemutarbalikan makna dengan maksud menyebarluaskan kekaburan, bid’ah dan
khurafat di tengah kaum Mu’minin.
Maka adalah satu keharusan bagi para A’immatul Fiqhi
serta para ulama yang memiliki semangat pembelaan terhadap ad-Din, untuk
bertekad memerangi musuh-musuh Islam beserta gang-nya dari kalangan kaum
pendengki, dengan cara meluruskan penafsiran secara shahih terhadap
ketentuan-ketentuan hukum syari’ah, dengan berpegang kepada Kitabullah wa
sunnatur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk pengamalan dari
Firman Allah Ta’ala:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ
“Dan Kami turunkan Al
Qur’an kepadamu, agar kamu menerangkan kepada Umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka.” (QS. an-Nahl:44).
Juga firman Allah Ta’ala:
وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Dan apa-apa yang dibawa Ar
Rasul kepadamu maka ambillah ia, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr:7).
Murid-Muridnya
Ibnul Qayyim benar-benar
telah menyediakan dirinya untuk mengajar, memberi fatwa, berdakwah dan melayani
dialog. Karena itulah banyak manusia-manusia pilihan dari kalangan para
pemerhati yang menempatkan ilmu sebagai puncak perhatiannya, telah benar-benar
menjadi murid beliau.
Mereka itu adalah para
Ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya, di antaranya ialah: anak beliau
sendiri bernama Syarafuddin Abdullah, anaknya yang lain bernama Ibrahim,
kemudian Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy penyusun kitab al-Bidayah wan Nihayah,
al-Imam al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab
Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi, Syamsuddin Muhammad bin
Abdil Qadir an-Nablisiy, Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy, Muhammad bin Ahmad bin
Utsman bin Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy asy-Syafi’i, Ali bin Abdil Kafi
bin Ali bin Taman As Subky, Taqiyussssddin Abu ath-Thahir al-Fairuz asy-Syafi’i
dan lain-lain.
Aqidah Dan Manhajnya
Adalah Aqidah Ibnul Qayyim
begitu jernih, tanpa ternodai oleh sedikit kotoran apapun, itulah sebabnya,
ketika beliau hendak membuktikan kebenaran wujudnya Allah Ta’ala, beliau ikuti
manhaj al-Qur’anul Karim sebagai manhaj fitrah, manhaj perasaan yang salim dan
sebagai cara pandang yang benar. Beliau –rahimahullah- sama sekali tidak mau
mempergunakan teori-teori kaum filosof.
Ibnul Qayiim rahimahullah
mengatakan, “Perhatikanlah keadaan alam seluruhnya –baik alam bawah maupun-
alam atas dengan segala bagian-bagaiannya, niscaya anda akan temui semua itu
memberikan kesaksian tentang adanya Sang Pembuat, Sang Pencipta dan Sang
Pemiliknya. Mengingkari adanya Pencipta yang telah diakui oleh akal dan fitrah
berarti mengingkari ilmu, tiada beda antara keduanya. Bahwa telah dimaklumi;
adanya Rabb Ta’ala lebih gamblang bagi akal dan fitrah dibandingkan dengan
adanya siang hari. Maka barangsiapa yang akal serta fitrahnya tidak mampu
melihat hal demikian, berarti akal dan fitrahnya perlu dipertanyakan.”
Hadirnya Imam Ibnul Qayyim
benar-benar tepat ketika zaman sedang dilanda krisis internal berupa
kegoncangan dan kekacauan (pemikiran Umat Islam–Pent.) di samping adanya
kekacauan dari luar yang mengancam hancurnya Daulah Islamiyah. Maka wajarlah
jika anda lihat Ibnul Qayyim waktu itu memerintahkan untuk membuang perpecahan
sejauh-jauhnya dan menyerukan agar umat berpegang kepada Kitabullah Ta’ala
serta Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Manhaj serta hadaf Ibnul
Qayyim rahimahullah ialah kembali kepada sumber-sumber dinul Islam yang suci
dan murni, tidak terkotori oleh ra’yu-ra’yu (pendapat-pendapat) Ahlul Ahwa’ wal
bida’ (Ahli Bid’ah) serta helah-helah (tipu daya) orang-orang yang suka
mempermainkan agama.
Oleh sebab itulah beliau
rahimahullah mengajak kembali kepada madzhab salaf; orang-orang yang telah
mengaji langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah
sesungguhnya yang dikatakan sebagai ulama waratsatun nabi (pewaris nabi)
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam pada itu, tidaklah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mewariskan dinar atau dirham, tetapi beliau mewariskan ilmu.
Berkenaan dengan inilah, Sa’id meriwayatkan dari Qatadah tentang firman Allah
Ta’ala:
وَيَرَى الَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ هُوَ الْحَقَّ
“Dan orang-orang yang
diberi ilmu (itu) melihat bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb mu
itulah yang haq.” (QS: Saba’:6).
Qotadah mengatakan, “Mereka
(orang-orang yang diberi ilmu) itu ialah para sahabat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam.”
Di samping itu, Ibnul
Qayyim juga mengumandangkan bathilnya madzhab taqlid.
Kendatipun beliau adalah
pengikut madzhab Hanbali, namun beliau sering keluar dari pendapatnya kaum
Hanabilah, dengan mencetuskan pendapat baru setelah melakukan kajian tentang
perbandingan madzhab-madzhab yang masyhur.
Mengenai pernyataan
beberapa orang bahwa Ibnul Qayyim telah dikuasai taqlid terhadap imam madzhab
yang empat, maka kita memberi jawaban sebagai berikut, Sesungguhnya Ibnul
Qayyim rahimahullah amat terlalu jauh dari sikap taqlid. Betapa sering beliau
menyelisihi madzhab Hanabilah dalam banyak hal, sebaliknya betapa sering beliau
bersepakat dengan berbagai pendapat dari madzhab-madzhab yang bermacam-macam
dalam berbagai persoalan lainnya.
Memang, prinsip beliau
adalah ijtihad dan membuang sikap taqlid. Beliau rahimahullah senantiasa
berjalan bersama al-Haq di mana pun berada, ittijah (cara pandang)-nya dalam
hal tasyari’ adalah al-Qur’an, sunnah serta amalan-amalan para sahabat,
dibarengi dengan ketetapannya dalam berpendapat manakala melakukan suatu
penelitian dan manakala sedang berargumentasi.
Di antara da’wahnya yang
paling menonjol adalah da’wah menuju keterbukaan berfikir. Sedangkan manhajnya
dalam masalah fiqih ialah mengangkat kedudukan nash-nash yang memberi petunjuk
atas adanya sesuatu peristiwa, namun peristiwa itu sendiri sebelumnya belum
pernah terjadi.
Adapun cara pengambilan
istinbath hukum, beliau berpegang kepada al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Fatwa-fatwa
shahabat, Qiyas, Istish-habul Ashli (menyandarkan persoalan cabang pada yang
asli), al-Mashalih al-Mursalah, Saddu adz-Dzari’ah (tindak preventif) dan
al-‘Urf (kebiasaan yang telah diakui baik).
Ujian Yang Dihadapi
Adalah wajar jika orang
‘Alim ini, seorang yang berada di luar garis taqlid turun temurun dan menjadi
penentang segenap bid’ah yang telah mengakar, mengalami tantangan seperti
banyak dihadapi oleh orang-orang semisalnya, menghadapi suara-suara sumbang
terhadap pendapat-pendapat barunya.
Orang-orang pun terbagi
menjadi dua kubu: Kubu yang fanatik kepadanya dan kubu lainnya kontra. Oleh
karena itu, beliau rahimahullah menghadapi berbagai jenis siksaan. Beliau
seringkali mengalami gangguan. Pernah dipenjara bersama Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah secara terpisah-pisah di penjara al-Qal’ah dan baru dibebaskan setelah
Ibnu Taimiyah wafat.
Hal itu disebabkan karena
beliau menentang adanya anjuran agar orang pergi berziarah ke kuburan para
wali. Akibatnya beliau disekap, dihinakan dan diarak berkeliling di atas seekor
onta sambil didera dengan cambuk.
Pada saat di penjara,
beliau menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an, tadabbur dan tafakkur.
Sebagai hasilnya, Allah membukakan banyak kebaikan dan ilmu pengetahuan
baginya. Di samping ujian di atas, ada pula tantangan yang dihadapi dari para
qadhi karena beliau berfatwa tentang bolehnya perlombaan pacuan kuda asalkan
tanpa taruhan. Sungguhpun demikian Ibnul Qayyim rahimahullah tetap konsisten
(teguh) menghadapi semua tantangan itu dan akhirnya menang. Hal demikian
disebabkan karena kekuatan iman, tekad serta kesabaran beliau. Semoga Allah
melimpahkan pahala atasnya, mengampuninya dan mengampuni kedua orang tuanya
serta segenap kaum muslimin.
Pujian Ulama Terhadapnya
Sungguh Ibnul Qayyim
rahimahullah teramat mendapatkan kasih sayang dari guru-guru maupun muridnya. Beliau
adalah orang yang teramat dekat dengan hati manusia, amat dikenal, sangat cinta
pada kebaikan dan senang pada nasehat. Siapa pun yang mengenalnya tentu ia akan
mengenangnya sepanjang masa dan akan menyatakan kata-kata pujian bagi beliau.
Para Ulama pun telah memberikan kesaksian akan keilmuan, kewara’an, ketinggian
martabat serta keluasan wawasannya.
Ibnu Hajar pernah berkata
mengenai pribadi beliau, “Dia adalah seorang yang berjiwa pemberani, luas
pengetahuannya, faham akan perbedaan pendapat dan madzhab-madzhab salaf.”
Di sisi lain, Ibnu Katsir
mengatakan, “Beliau seorang yang bacaan Al-Qur’an serta akhlaqnya bagus, banyak
kasih sayangnya, tidak iri, dengki, menyakiti atau mencaci seseorang. Cara
shalatnya panjang sekali, beliau panjangkan ruku’ serta sujudnya hingga banyak
di antara para sahabatnya yang terkadang mencelanya, namun beliau rahimahullah
tetap tidak bergeming.”
Ibnu Katsir berkata lagi,
“Beliau rahimahullah lebih didominasi oleh kebaikan dan akhlaq shalihah. Jika
telah usai shalat Shubuh, beliau masih akan tetap duduk di tempatnya untuk
dzikrullah hingga sinar matahari pagi makin meninggi. Beliau pernah mengatakan,
‘Inilah acara rutin pagi buatku, jika aku tidak mengerjakannya nicaya
kekuatanku akan runtuh.’ Beliau juga pernah mengatakan, ‘Dengan kesabaran dan
perasaan tanpa beban, maka akan didapat kedudukan imamah dalam hal din
(agama).’”
Ibnu Rajab pernah menukil
dari adz-Dzahabi dalam kitabnya al-Mukhtashar, bahwa adz-Dzahabi mengatakan,
“Beliau mendalami masalah hadits dan matan-matannya serta melakukan penelitian
terhadap rijalul hadits (para perawi hadits). Beliau juga sibuk mendalami
masalah fiqih dengan ketetapan-ketetapannya yang baik, mendalami nahwu dan
masalah-masalah Ushul.”
Tsaqafahnya
Ibnul Qayyim rahimahullah
merupakan seorang peneliti ulung yang ‘Alim dan bersungguh-sungguh. Beliau
mengambil semua ilmu dan mengunyah segala tsaqafah yang sedang jaya-jayanya
pada masa itu di negeri Syam dan Mesir.
Beliau telah menyusun
kitab-kitab fiqih, kitab-kitab ushul, serta kitab-kitab sirah dan tarikh.
Jumlah tulisan-tulisannya tiada terhitung banyaknya, dan diatas semua itu,
keseluruhan kitab-kitabnya memiliki bobot ilmiah yang tinggi. Oleh karenanyalah
Ibnul Qayyim pantas disebut kamus segala pengetahuan ilmiah yang agung.
Karya-Karyanya
Beliau rahimahullah memang
benar-benar merupakan kamus berjalan, terkenal sebagai orang yang mempunyai
prinsip dan beliau ingin agar prinsipnya itu dapat tersebarluaskan. Beliau
bekerja keras demi pembelaannya terhadap Islam dan kaum muslimin.
Buku-buku karangannya
banyak sekali, baik yang berukuran besar maupun berukuran kecil. Beliau telah
menulis banyak hal dengan tulisan tangannya yang indah. Beliau mampu menguasai
kitab-kitab salaf maupun khalaf, sementara orang lain hanya mampun menguasai
sepersepuluhnya.
Beliau teramat senang
mengumpulkan berbagai kitab. Oleh sebab itu Imam ibnul Qayyim terhitung sebagai
orang yang telah mewariskan banyak kitab-kitab berbobot dalam pelbagai cabang
ilmu bagi perpustakaan-perpustakaan Islam dengan gaya bahasanya yang khas;
ilmiah lagi meyakinkan dan sekaligus mengandung kedalaman pemikirannya
dilengkapi dengan gaya bahasa nan menarik.
Beberapa Karyanya
Tahdzib Sunan Abi Daud,
I’lam al-Muwaqqi’in ‘an
Rabbil ‘Alamin,
Ighatsatul Lahfan fi Hukmi
Thalaqil Ghadlban,
Ighatsatul Lahfan fi
Masha`id asy-Syaithan,
Bada I’ul Fawa’id,
Amtsalul Qur’an,
Buthlanul Kimiya’ min
Arba’ina wajhan,
Bayan ad-Dalil ’ala
istighna’il Musabaqah ‘an at-Tahlil,
At-Tibyan fi Aqsamil
Qur’an,
At-Tahrir fi maa yahillu wa
yahrum minal haris,
Safrul Hijratain wa babus
Sa’adatain,
Madarijus Salikin baina
manazil Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in,
Aqdu Muhkamil Ahya’ baina
al-Kalimit Thayyib wal Amais Shalih al-Marfu’ ila Rabbis Sama’
Syarhu Asma’il Kitabil
Aziz,
Zaadul Ma’ad fi Hadyi
Kairul Ibad,
Zaadul Musafirin ila
Manazil as-Su’ada’ fi Hadyi Khatamil Anbiya’
Jala’ul Afham fi dzkris
shalati ‘ala khairil Am,.
Ash-Shawa’iqul Mursalah
‘Alal Jahmiyah wal Mu’aththilah,
Asy-Syafiyatul Kafiyah fil
Intishar lil firqatin Najiyah,
Naqdul Manqul wal Muhakkil
Mumayyiz bainal Mardud wal Maqbul,
Hadi al-Arwah ila biladil
Arrah,
Nuz-hatul Musytaqin wa
raudlatul Muhibbin,
al-Jawabul Kafi Li man
sa`ala ’anid Dawa`is Syafi,
Tuhfatul Wadud bi Ahkamil
Maulud,
Miftah daris Sa’adah,
Ijtima’ul Juyusy
al-Islamiyah ‘ala Ghazwi Jahmiyyah wal Mu’aththilah,
Raf’ul Yadain fish Shalah,
Nikahul Muharram,
Kitab tafdlil Makkah ‘Ala
al-Madinah,
Fadl-lul Ilmi,
‘Uddatus Shabirin wa
Dzakhiratus Syakirin,
al-Kaba’ir,
Hukmu Tarikis Shalah,
Al-Kalimut Thayyib,
Al-Fathul Muqaddas,
At-Tuhfatul Makkiyyah,
Syarhul Asma il Husna,
Al-Masa`il
ath-Tharablusiyyah,
Ash-Shirath al-Mustaqim fi
Ahkami Ahlil Jahim,
Al-Farqu bainal Khullah wal
Mahabbah wa Munadhorotul Khalil li qaumihi,
Ath-Thuruqul Hikamiyyah,
dan masih banyak lagi kitab-kitab serta karya-karya besar beliau yang digemari
oleh berbagai pihak.
Wafatnya
Ibnul-Qoyyim meninggal
dunia pada waktu isya’ tanggal 13 Rajab 751 H. Ia dishalatkan di Mesjid Jami’
Al-Umawi dan setelah itu di Masjid Jami’ Jarrah; kemudian dikuburkan di
Pekuburan Babush Shagir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar